Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas Penanganan Covid-19 Dewi Nur Aisyah mengatakan, kasus kematian akibat Covid-19 di Indonesia sudah mengalami penurunan memasuki Agustus 2021 hingga saat ini. Meski demikian, masalah kematian harus tetap menjadi perhatian semua pihak, termasuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengingat persentase secara nasional masih tinggi mencapai 3,24% di atas rata-rata dunia yang mencapai 2,08% saat ini.
Dewi menyebutkan, puncak angka kematian terjadi pada akhir Juli 2021 dengan rata-rata 1.700 kasus kematian per hari. Setelah itu memasuki Agustus mulai terjadi penurunan. Jumlah kasus kematian mingguan terhitung dari 23-28 Agustus mencapai 5.551 kasus.
“Angka kematian ini harus menjadi perhatian seluruh pihak termasuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) untuk bisa menekan angka kematian agar jauh lebih baik lagi,” kata Dewi pada saat memberi keterangan pers tentang “Covid-19 Dalam Angka: Perkembangan Kondisi Kasus Covid-19 dan Kepatuhan Protokol Kesehatan di Indonesia” secara daring, Rabu (1/9/2021).
Dewi menyebutkan, pada bulan Agustus, terdapat 10 provinsi yang menjadi penyumbang kasus kematian akibat Covid-19 tertinggi.
Ke-10 provinsi tersebut adalah Jawa Tengah sebanyak 8.912, Jawa Timur 7.421, Jawa Barat 3.902, Kalimantan Timur 1.709, Lampung 1.492, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 1.419, Bali 1.344, DKI Jakarta 1.107, Riau 1.088, dan Sumatera Utara 888.
“Kontribusi dari 10 provinsi ini menyumbangkan angka kematian 77,01% dari angka kematian bulanan yang terjadi di Agustus 2021,” kata Dewi.
Dewi juga mengatakan, untuk menganalisis angka kematian, sebaiknya melihat data per minggu. Pasalnya hal ini untuk menghindari beberapa kendala di lapangan. Selain itu, angka mingguan lebih stabil.
Untuk itu, kata dia, adanya penurunan atau kenaikan angka kematian harian sebetulnya hal yang biasa. Fokus analisis tetap pada kasus kematian mingguan.
“Jadi adanya penurunan angka dan kenaikan angka kematian harian bagi saya biasa saja, karena saya ingin melihat gambaran satu pekan dibandingkan dengan pekan sebelumnya. Itu akan jauh lebih clear, apakah kita beneran turun atau naik karena jauh lebih stabil untuk melihat progresnya,” ucap Dewi.
Dewi menyebutkan, angka kematian ini perlu analisis mendalam karena ada perubahan tren, misalnya pada Juli 2021 lalu, penyumbang angka kematian tertinggi bukan dari mereka yang berusia diatas 60 tahun, tetapi justru usia sekitar 46-59 tahun.
“Ada tren pergantian, sehingga kasus kematian mengalami tren berubah pada Juli. Saya belum membahas angka untuk Agustus 2021, kita akan dikeluarkan pada pekan depan atau dua pekan lagi,” ucapnya.
Dewi juga mengatakan, untuk angka kematian terjadi selama Juli 2021, berdasarkan hasil survei dilakukan oleh rumah sakit vertikal Kementerian Kesehatan (Kemkes) ditemukan bahwa ada masalah pada kecepatan penanganan pasien. Dalam hal ini, pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi yang berat dan kritis, sehingga mengakibatkan angka kematian menjadi lebih tinggi.
“Hal ini dibuktikan dengan angka kematian pasien bukan terjadi di ICU bukan saat perawatan, tapi justru di IGD,” paparnya.
Dewi mengatakan, berdasarkan data per Mei 2021 , angka kematian pasien di IGD sekitar 3,53%, Juni naik menjadi 11,06% dan Juli naik 14,36% kematian di IGD. Sedangkan untuk Agustus kematian turun menjadi 6,9%.
“Jadi masalah kecepatan penanganan pasti sangat berpengaruh dengan angka kematian kita hadapi saat ini,” kata Dewi.
Dewi menyebutkan, banyak orang yang datang ke rumah sakit yang saturasi oksigennya sudah sangat rendah. Pada Mei 2021, sebanyak 11% orang yang datang ke IGD dengan saturasi oksigen sudah di bawah 80 dari kondisi normal di kisaran 95. Pada Juni naik 13%, pada Juli bahkan mencapai 22%.
“Jadi 1/5 orang pergi ke rumah sakit sudah sesak napas sekali kondisinya. Tapi saat ini masih kita melihat beberapa angka turun di bawah 20% di bulan Agustus ini,” katanya. (*/cr2)
Sumber: beritasatu.com